Profil KH. Ridwan Syarqowi (Pendiri Pondok)

  • Post category:KABAR

Muhammad Ridwan Syarqawi merupakan salah seorang tokoh masyarakat yang kharismatik, beliau hidup pada masa 1924 – 1990 M. Beliau sebagaimana layaknya manusia pada umumnya yang tidak luput dari proses manusiawi yaitu proses pertumbuhan dan perkembangan menuju kematangan pribadi. Proses ini menjadi semakin menarik ketika para filosof mengeluarkan buah pikirannya tentang perkembangan tersebut. Di antaranya adala John Locke, seorang berkebangsaan Inggris (hidup pada tahun 1636 – 1704 M.) dengan teori empirisme atau tabularasa, mengajarkan bahwa perkembangan pribadi ditentukan oleh faktir lingkungan, terutama pendidikan. John Locke berkesimpulan bahwa tiap-tiap individu lahir sebagai kertas putih dan lingkungan itulah yang menulis kertas putih itu. Lain halnya dengan Arthus Scopenhover (hidup pada tahun 1898 – 1960 M.) seorang tokoh berkebangsaan Jerman dengan teori nativisme, ia berkesimpulan bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh hereditas, faktor dalam, yang bersifat kodrat, dibawa sejak lahir, yang dilangsungkan melalui sel-sel benih dan bukan melalui sel-sel somatic (badan), menurut pendapat ini dapat faktor heredities yang bersifat kodrat dari kelahiran tak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitarnya.

Sedangkan menurut William Stem, seorang tokoh berkebangsaan Jerman (hidup 1871 – 1938 M.) dengan teori convergensi mengatakan bahwa potensi hereditas yang baik saja, tanpa pengaruh lingkungan yang positif tidak akan membina kepribadian yang ideal. Sebaiknya, meskipun lingkungan (pendidikan) yang positif dan maksimal, tidak akan menghasilkan kepribadian ideal tanpa potensi hereditas yang baik. Oleh karena itu, perkembangan pribadi sesungguhnya adalah hasil proses kerja sama kedua faktor, baik internal (hereditas) maupun eksternal (lingkungan pendidikan).[i] Dari ketiga pendapat di atas pendapat yang terakhir ini sangat relevan dengan sabda Nabi :

Artinya:

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci maka Bapak ibunyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani dan Majusi. 

Dari hadits tersebut, mengisaratkan betapa dominannya peran Bapak dan Ibu dalam menentukan pola sikap, pola pikir dan pola laku seorang anak di kemudian hari dan orang tua merupakan variabel utama dalam menentukan kondisi keluarga.

  1. LATAR BELAKANG KELUARGA

Paciran adalah nama salah satu desa di pesisir utara pulau Jawa dan masi dalam wilayah Jawa Timur, Kabupaten Lamongan, Kecamatan Paciran. Di desa ini Ridwan dilahirkan tepat pada 15 April 1924 M. Beliau adalah anak keempat dari duabelas bersaudara, yaitu:[ii]

  1. Muk’rob
  2. Khodijah
  3. Haulah
  4. Muhammad Ridwan
  5. Rusnah
  6. Hasan
  7. Husain
  8. Asyhuri
  9. Husni
  10. Niswah
  11. Muntamah
  12. Fatimah

Mereka lahir dari seorang ibu bernama Aisyah dan seorang bapak yang bernama Syarqawi. Aisyah berasal dari Desa Paciran. Ia adalah anak kedua dari enam bersaudara, yang lahir dari seorang ibu yang bernama Hazimah binti Kapiyah. yaitu:[iii]

  1. Batiyah
  2. Aisyah
  3. Abu Dzarrin
  4. Amanah
  5. Khodijah
  6. Muhdi

Sedangkan Syarqawi berasal dari Desa Labuhan Kecamatan Brondong sebelah Kecamatan Paciran. Ia putra seorang tokoh setempat yang cukup disegani.

Aisyah dan Syarqawi sebagai seorang ibu dan bapak dari ke-12 putra putrinya, berusaha berperan sebaik mungkin agar kelak di kemudian hari putra putrinya menjadi orang-orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama, maka ia membangun keluarga yang harmonis karena di lingkungan keluarga ini seorang anak mengenal dirinya dan di sini pula segala norma dan tata kehidupan bermasyarakat diperkenalkan, disemaikan dan dikembangankan.

Syarqawi adalah salah seorang tokoh masyarakat yang cukup disegani di masyarakat karena kealimannya dan kekayaannya dan barang kali sudah menjadi tradisi di kalangan ulama pada zaman dalu bahwa anak cucu para ulama atau kiai dididik dan dipersiapkan untuk meneruskan perjuangan beliau. Hal ini terbukti pada keluarga Syarqawi yang seorang ulama itu. Maka tidak kurang dari lima orang anaknya menjadi seorang ulama yang terkenal di daerah Lamongan, yaitu:

  1. Ridwan

Ia adalah ulama yang paling vocal dalam menyampaikan ajaran Islam yang sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan As Sunnah, sampai beliau mendapat julukan ulama Wahabi.

  1. Khasan
  2. Khusain
  3. Asyhuri

Ketiga bersaudara ini juga ulama-ulama yang terkenal. Tetapi ketiga saudara ini dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam tidak sama dengan apa yang disampaikan oleh Ridwan. Beliau bertiga dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam cenderung berkiblat pada organisasi NU (Nahdlotul Ulama). Ketiga ulama ini akhirnya mengasuh pondok yang cukup besar, yaitu Pondok Mazroatul Ulum di Paciran.

  1. Niswah

Walaupun seorang perempuan, beliau dalam menuntut ilmu dan perjuangan de mi tegaknya syi’ar Islam tidak mau ketinggalan dengan saudara-saudaranya yang laiki-laki. Ia adalah pelopor pendobrak tradisi lama yang melarang kaum hawa untuk belajar membaca dan menulis di Paciran. Dengan dibantu saudara-sudaranya, maka berdirilah sekolahan putri yang tergabung dalam sekolahan yang dikelola saudaranya, Ridwan. Bu Nis, panggilan akrabnya, di sampingin sebagai muballighoh yang cukup terkenal, hingga pada akhirnya ia menjadi ketua pimpinan Cabang Aisyiyah Paciran.

Perhatian Syarqawi terhadap anak-anaknya tidak hanya sebatas itu saja. Beliau berusaha menjadikan anak cucunya menjadi orang-orang yang shaleh. Hal ini terlihat dari besan dan menantunya dari orang yang tergolong shaleh dan ternama berstatus menengah ke atas, misalnya:

  1. Niswah diperistri K. Abdul Karim Putra Anwar
  2. Ridwan memperistri Sukriyah putri H. Usman
  3. Khasan memperistri Rabi’ah putri K. Umar
  4. Asyhuri memperistri Muntadhi’ah putri H. Usman
  5. Fatimah diperistri KH. Thibyani putra K. Muntahid

Ekonomi sebagai kebutuhan hajart hidup manusia yang tidak bisa dipungkiri akan pentingnya, oleh bapak Syarqawi dan ibu Aisyah menjadi perhatian ersendirui karena lewat ekonomi ini, Ibu Aisyah dan Bapak Syarqawi mencukupi kebutuhan rumah hidup putra-putrinya.

Usaha ekonomi yang dibangun oleh mereka adalah sendirikan tempat jagal yaitu tempat yang digunakan untuk memotong atau menyembelih binatang ternak.  Misalnya, sapi, kerbau, kambing dan lain-lain kemudian dagingnya dijual di pasar-pasar Paciran sendiri maupun di luar pasar Paciran, seperti pasar Kliwon Blimbing, pasar Kranji, pasar Weru dan sebagainya. Dari usaha ini, cukup membuahkan hasil yang lumayan ditambah l agi dengan hasil usaha pertanian dari lahan yang dimilikinya membuat mereka mampu mencukupi kebutuhan keluarganya dan biaya anak-anaknya yang belajar di berbagai pesantren.[iv]

Usaha-usaha yang ditekuni Syarqawi semakin lama semakin berkembang sehingga membuat mereka menjadi orang yang tergolong kaya pada saat itu. Kekayaan yang dimilikinya mengundang perhatian para aparat desa yang tidak bertangga=ung jawa untuk ikut mneikmatinya, cara licik yang dilakukan pad aparat yang tidak bertanggungjawab adalan dengan menahan putra Syarqawi dan diinformasikan kepada keluarga bahwa anaknya akan dijadikan tentara penjajah yang akan ditempatkan di luar Jawa danjika menginginkan anaknya tidak dilibatkan dalam ketentaraan maka Bapak Syarqawi harus membayar sejumlah uang sebagai gantinya, kejiadian ini tidak hanya sekali dua kali tetapi sering kali dilakukan oleh aparat jahat tersebut.[v]

  1. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

Ridwan berasal dari keturunan keluarga baik-baik. Ayahnya seorang ulama yang terkenal pada masanya. Di masa mudanya ia sangat gemar menuntut ilmu agama di pesantren  sehingga ia menjadu tokoh ternama di masyarakat yang sejajar dengan kyai-kyai pada masa itu dan ia berusaha agar ilmu yang dimiliki bisa diturunkan pada putra putrinya, diharapkan mereka kelak di kemudian hari menjadi berguna bagi nusa, bangsa dan agama.[vi]

Pendidikan yang perama diberikan pada putra putri seorang tokoh agama sudah barang tentu adalah dasar-dasar agama yaitu rasa percaya adanya Allah sebagai pencipta alam semesta, malaikat, kitab, rosul, hari kiamat dan takdir. Itu semua diajarkan pada putra putridnya dalam bentu sya’ir sehingga mudah dihafal.[vii]

Pada masa keagamaan dalam bentuk sikap, tokoh masyarakat ini mengajarkan putra putrinya untuk bisa mengerjakan shalat dengan baik dan membaca Al Qur’an dengan benar, pendidikan ini diberikan contoh langsung oleh ayah, Syarqawi, dan dibantu oleh istrinya dengan sabar agar outra putrinya bisa menirukan bagaimana cara melakukan shalat, setelah berjamaah putra putrinya dianjurkan mengambil turutan (kitab pengenalan huruf dan kumpulan surat-surat pendek dalam Al Qur’an) untuk belajar membaca Al Qur’an dan kadang-kadang ditambah teori shalat beserta doa-doanya serta dzikir yang dibaca setelah melakukan shalat lima waktu. Walaupun demikian Sang ayah menganjurkan putra putrinya agar mau belajar kepada kyai-kyai lain, agar cakrawala keagamaannya bisa berkembang. Di samping itu, Sang ayah juga seorang pedagang yang sibuk dan kadang-kadang harus mengurusi dagangannya di luar desa sehingga tidak sempat mengajar putra putrinya.[viii]

Ridwan merupakan putra yang keempat dari duabelas bersaudara ternyata memiliki beberapa kelebihan dari saudara-saudaranya yang lain. Di samping cerdas ia juga memiliki himmah yang tinggi untuk memperdalam ilmu agama dan mengembangkan syi’ar Islam yang benar serta memiliki keberanian dalam menghadapi berbagai permasalahan, resiko yang akan terjadi ketika dalam pengembaraan menuntut ilmu maupun dalam menegakkan kebenaran syi’ar agama Islam.

Sejak kecil Ridwan mendapat didikan ilmu agama dari orang tuanya. Setelah dirasa cukup ia menuruti anjuran orang tuanya untuk belajar agama kepada orang lain, yaitu memulai dengan belajar membaca Al Qur’an pada bebera kyai yang ada desanya seperti kyai Anwar, Kyai Tamhid dan Kyai Zen. Ketiga kyai ini menyukai Ridwan. Di samping ia cerdas, mudah menerima pelajaran yang diajarkan, ia juga rajin mengikuti pengajian yang ada. Di sela-sela belajar, ia memanfaatkan waktunya untuk membantu orang tuanya. Meskipun demikian, RIdwan juga pernah melakukan kenakalan-kenakalan selayaknya anak-anak pada umumnya.[ix]

Ketika Ridwan berusia 12 tahun, ia dikirim ayahnya ke pondok pesantren di Desa Sendang sebelah timur Desa Paciran. Di desa ini terdapat masjid tiban (sebutan masyarakat), yaitu majid Nyai AGeng Mantingan yang telah dibeli dan dipindah oleh SUnan Sendang (R. Nur Rahmat) dari Mantingan ke Sendang. Di pondok ini, para santri dalam memenuhi kebutuhannya setiap hari dengan membawa bekal dari rumah. Ada juga yang sambil bekerja membantu orang setempat.

Para santri diwajibkan mengikuti kegiatan mengaji setiap hari sesuai dengan ketentuan-ketentuan pesantren. Ridwan yang sadar akan pentingnya cakrawala keislaman ditambah pesan dari orang tuanya mendorong dirinya menjadi santri yang baik. Meskipun demikian ia pernah berbuat kurang benar yaitu ketika hendak mengikuti pengajian, ia membawa AL Qur’an dengan cara dicangking (dijinjing), sikap ini dianggap Kyai Zuber kurang benar. Sehingga kyai Zuber berkata kepada Ridwan, “Wan Ridwan, ojo nyangking AL Qur’an koyo nyangking cowek” (Wan Ridwan, jangan membawa Al Qur’an seperti membawa cobek).[x]

Setelah satu tahun mengaji di pondok pesantrean ini, akhirnya ia pulang ke Paciran dan tidak kembali lagi maka oleh ayahnya ia dikirim lagi ke pondoknya kyai Haji Ahyat Ilyas, di Desa Blimbing, terletak di sebelah barat Desa Paciran untuk belajar kemadrasahan, yaitu belajar tentang sistem pendidikan dengan menggunakan klasikal atau pendidikan berjenjang. Pada saat sekarang menjadi TK Aisyiyah, Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs)/SMP, Madrasah Aliyah (MA)/SMA. Selama di Blimbing, ia belajar ilmu Nahwu, ilmu Sharaf dengan kitabnya Alfiyah. Ditambah dengan belajar membaca tafsir sedikit demi sedikit. Di pondok pesantren ini kurang lebih selama 2 tahun. Kemudia ia pindah ke pondok pesantren maskumambang Gresik di bawah asuhan kyai Faqih dan Kyai Amar. Pada saat itu, Kyai Amar sudah datang dari Makkah guna menunaikan ibadah haji.[xi]

Pada sekitar tahun 1926 M. Kyai Amar menunaikan ibadah haji di Makkah, di sisa-sisa waktunya ia memanfaatkan untuk menambah pengetahuan agama dengan belajar kepada ustad Umar Hamdan. Di samping itu, ia juga mencari informasi tentang gerakan Wahabi di Saudi Arabiyah sebab di Maskumambang tersebar isu bahwa siapa saja yang tidak mengikuti tradisi lama yang telah dibangun dan digariskan oleh para Kyai terdahulu. Seperti kyai Faqih dan kawan-kawannya berarti keluar (menyimpang) dari ajaran “Ahlussunnah wal Jamaah” sekaligus dicap Wahabi, yaitu orang yang tidak senang kepada Rasulullah SAW. dan selalu menghina para wali serta meremehkan syi’ar-syi’ar agama. Setelah kyai Amar berdialog dengan tokoh-tokoh gerakan ini ternyata semua isu itu tidak benar. Sebaliknya, kyai Amar semakin tertarik dengan kerangka pemahaman Wahabi dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.[xii]

Dari pengalaman selama di Makkah ditambah dengan hasil diskusinya dengan rekan-rekan seperjuangannya seperti K. Mas Mansur, Muhammad Nasir, M. Isa Ansori dan kawan-kawan yang lain yang aktif di Masumi maupun di Muhammadiyah mengakibatkan kyai Amar berbeda dengan para pendahulunya terutama dalam memahami Islam. Kyai Amar mangambil paham salaf sebagai ukurannya. Paham ini berusaha dikembangkan kyai Amar kepada para santrinya dan masyarakat umum.

Dari sejumlah santri yang mengaji di pondok pesantren Maskumambang Gresik, Ridwan merupakan salah satu santri yang paling dekat dengan gurunya yaitu Kyai Faqih dan Kyai Amar. Ia sering dijadikan tukang pijat oleh keduanya terutama Kyai Amar. Di saat memijat, mereka biasanya asyik dalam suasana berbincang santai. Kyai Amar bertanya tentang sesuatu hal berkenaan diri Ridwan, keluarga dan masyarakat. Kadang pula bercerita tentang hukum Islam, pengalaman hidupnya, bahkan pernah bercerita ketidak sepakatannya dengan Kyai Faqih tentang buku yang dikarangnya dengan  judul “Tuhfatul Ummah fil Aqosidi Waroddil Mafasidi” tetapi Kyai Amar tidak khawatir karena buku karangannya sudah dikirim ke Al-Azhar dan beberapa bulan kemudian telah mendapat taqorid (pengesahan dan pengeleman) dari ulama-ulama Al Azhar.[xiii]

Pada saat mengarang buku ini Kyai Amar mendekte santri-santrinya untuk menulis dari apa saja yang diucapkannya. Hal ini dilakukan dalam rangkaian belajar di pondok dalam mata pelajaran imlak, untuk melengkapi buku karangannya. Kyai Amar menunjukkan Ridwan sebagai juru tulis pribadinya sekaligus dimanfaatkan oleh keduanya dalam kegiatan belajar mengajar imlak. Setelah buku Kyai Amar sampai di Maskumambang maka Kyai Faqih tidak lagi berbeda paham dan langsung percaya begitu saja terhadap buku karangan anaknya.

Ridwan selama menjadi santri di pondok pesantren Maskumambang, ia belajar ilmu-ilmu sebagai lanjutan dari ilmu-ilmu yang pernah dipelajari di Bilimbing dan ditambah lagi beberapa ilmu yang lain. Di antara ilmu yang ditekuni adalah ilmu adalah ilmu  nahwu, ilmmu shorof, ilmu balagho, ilmu mantek, ilmu kalam, ilmu tauhid dan sebagainya. Khusus mengenai ilmu tauhid dijadikan prioritas utama oleh Kyai Amar agar dapat dipahami dan diamalkan uang selanjutnya dikembangkan oleh setiap santri. Baik untuk dirinya maupun untuk masyarakat umum sebagai pengemban misi perjuangan kyai Amar dalam menegakkan dan mengembangkan syi’ar Islam dari penyakit syirik.[xiv]

Kyai Amar dalam membina para santri berbeda dengan para pendahulunya yang menerima apa adanya isi kitab terbsebut tetapi kyai Amar yang gemar mengkritik atau menilai kitab-kitab karangan siapapun. Ia mengadakan sistem perbandingan dengan mencari mana yang lebih kuat dan paling benar alasannya menurut Al-Qur’an dan AL Hadits. Oleh karena itu, ia menanamkan pada para santrinya agar senantiasan kritis terhadap kitab-kitab karangan siapapun dan tanggap terhadap persoalan-persoalan keagamaan yang sedang berkembang serta bisa mengoreksi dan membandingkan dengan ajaran yang benar, maka kyai Amar sangat berharap bahwa santri-santrinya kelak menjadi pelopor ide salaf di daerahnya masing-masing.

Ridwan adalah yang paling disuruh oleh kyai Amar membaca kitab-kitab seperti Fakhtul Mu’in, itnak murid dan lain-lain dalam setiap pertemuan pengajian. Setelah ia menerima pelajaran dari berbagai mata pelajaran yang ada di pondok pesantren Maskumambang maka ia diperintahkan kyai Amar untuk mengikuti kemana saja dan ia harus memberi keterangan kepada masyarakat dengan dinilai langsung oleh kyai Amar. Setelah mendapat pembinaan khusus di bawah pengawasan kyai Amar sendiri, akhirnya pada suatu pertemuan pengajian kyai Amar memberitahukan tentang kesempatan Ridwan dan Adnan Nur untuk mendapatkan sahadah. Sebelum diberikan terlebih dahulu ditanya kesediaanya maka kyai Amar berkata, “Apakah saudara Ridwan ingin saya saksikan sebagai ahlul khaq atau tidak?”Jawab Ridwan dengan tegas, “Saya bersedia kyai Amar sebagai saksi bahwa saya sebagai ahlul khaq.” Setelah itu kyai Amar baru memberikan sahadah (ijazah). Selanjutnya kyai Amar berkata, “Saudara Ridwan sudah kita beri sahadah dan sahadah itu dimasukkan  dalam buku al-mutamanna.” Pada waktu itu yang mendapat sahadah hanya dua orang santri, yaitu:

  1. Muhammad Ridwan Syarqawi dari Paciran
  2. Adnan Nur dari Blimbing[xv]

Kurang lebih empat tahun di pondok pesantren Maskumambang di bawah asuhan kyai Faih dan kyai Amar, kemudian ia pulang ke Paciran dan tetap melanjutkan kegiatan pendalaman agama dengan menghafal Al Qur’an. Hal ini berjalan kurang lebih setengah tahun tetapi di dalam hati Ridwan terjadi keraguan karena kurang kawan dan tidak ada mudarosah (latihan) maka ia minta bantuan kepada kawannya, Syahid,  untuk menyimak dan membetulkan ayat-ayat Al Qur’an yang dihafalkannya pada setiap malam sekitar 1 – 2 juz. Kegiatan ini berjalan kurang lebih setengah tahun maka total waktu yang dihabiskan Ridwan dalam menghafal Al Qur’an sekitar 1 tahun.[xvi]

Pada usia yang ke-20 tahun, Ridwan telah siap menunaikan Sunnah Rasul, yaitu nikah. Maka, ia menikah dengan putri Haji Usman bernama Syukriyah, dalam suasana keluarga yang penuh dengan mawaddah  warohmah. Kemudia ia mulai naik mimbar untuk menjalankan tugas agama dan janji setia dengan gurunya sebagai ahlul khaq guna menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar di tengah-tengah masyarakat.

  1. PEKERJAAN

Lapangan pekerjaan yang dibangun oleh keluarga Bapak Syarqawi adalah pertanian, peternakan, dan perdangan. Sejak kecil Ridwan senantiasa membantu pekerjaan  orang tuanya kecuali kalau ia berada di pesantren. Setelah ia selesai mengaji dari beberapa pesantren dan telah beristri maka ia bekerja guna memenuhi kebutuhan keluarganya dengan meniru jejak orang tuanya yaitu bertani dan berdagang.

Pertanian yang dikembangkan Ridwan tidak jauh berbeda dengan kebanyakan orang di desanya tepai pada masalah perdangangan ia mengembangkan bisnis kulit binatang ternak yaitu sapi, kambing atau kerbau di samping dari usaha jagal yang telah dimiliki orang tuanya.

Usaha-usaha yang melelahkan ini tidak membuat kehilangan kesempatan untuk menegakkan dan mengembangkan syi’ar Islam di bumi persada ini. Oleh karenanya ia selalu melakukan usaha-usaha kemanusiaan, berdakwah dengan memberikan ceramah di masjid-masjid atau di tempat lain seperti acara perkawinan, tasyakuran dan lain-lain. Beliau juga mengajar di sekolah atau di langrar-langgar  (suarau) guna mengamalkan dan membina para muridnya agar menjadi orang Islam yang benar-benar Islam. Kemudian pada tahun 1950 M, ia diangkat menjadi pegawai kantor urusan agama Kecamatan Paciran Kebupaten Lamongan.[xvii]

KYAI HAJI MUHAMMAD RIDWAN SYARQAWI DAN MASYARAKAT

  1. Aktivitas Sosial

Aktivitas sosial yang dilakukan Ridwan, secara nonformal barangkali sudah dilakukan ketika ia masih kecil. Tetapi jika dilihat secara formal kelembagaan baru nampak ketika ia mendirikan lembaga pendidikan Islam yang setingkat dengan sekolah dasar. Sikap demikian tidak terlepas dari kepeduliaan Ridwan terhadap nasib ummat, bangsa dan agama di mana datang.

Bangsa tidak akan bisa berkembang kalau tanpa didukung dengan sumber daya manusia yang memadai dari bangsa tersebut. Pendidikan sebagai salah satu proses pembentukan pola sikap, pola pikir dan pola laku masyarakat sangat menjadi penting ketika masyarakat sedang dilanda kebodohan, kestatisan dan kemujudan yang diliputi rasa ketidak perdayaan akibat dari sikap penjajah yang sengaja membodohkan dan menjauhkan nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat, agar mereka dapat menguasai bumi pertiwi selamanya.

Usaha-usaha mendakwahkan Islam sebagai ajaran yang universal dan menjadikan nilai-nilai Islam mampu direfleksikan dalam kehidupan sosial akan menjumpai kesulitan yang besar apabila masyarakat tidak berpendidikan sebab dalam merefleksikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata dibutuhkan kemauan, kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang terkait, minimal mereka mempunyai kemampuan membaca menulis. Hal itu sulit dijumpai kalau tidak ada lembaga pendidikan.

Lembaga pendidikan yang dibangun Ridwan bermula dari kumpula kegiatan keagamaan oleh Pak Atqon. Setelah meninggal dunia kemudian diteruskan oleh Alwi dan Asrori tetapi perkembangan berikutnya tidak menggembirakan bahkan pada tahun 1942 – 1945 bisa dibilang tidak mati dan tidak hidup.[xviii] Kenyataan ini memaksa mereka menyerahkan kepada orang yang lebih professional maka diserahkan kepada Ridwan. Kesempatan ini dimanfaatkan Ridwan dengan sebaik-baiknya karena posisi ini sangat setrategis dalam mengembangkan kader-kader penerus misi perjuangan agama, ummat, bangsa dan Negara.

Amanat yang diterima Ridwan tidak hanya menghantarkannya pada posisi terhormat saja, lebih dari itu ia harus berjuang lebih keras lagi demi mewujudkan misinya. Hal ini tidak akan berhasil dengan baik kalau tanpa adanya dukungan dari masyarakat. Untuk itu ia berusaha keras menjadikan perkumpulan ini menjadi lembaga pendidikan formal kebanggaan bersama, maka dengan sejumlah guru dan murid sebanyak 50 orang. Ridwan memajukan permohonan kepada KUA exkarisidenan Bojonegoro untuk merubah stautusnya dari nonformal menjadi lembaga pendidikan formal. Pada tahun 1946 M, lembaga ini diresmikan oleh KH. Misbah, kepala KUA exkarisidenan Bojonegro dengan nama madrasah Islam, guna mendidik dan mencerdaskan putra-putri masyarakat agar tidak menjadi umat yang terbelakang serta memperkokh keimanan mereka dari pengaruh luar.[xix]

Usaha-usaha Ridwan semakin hari semakin menampakkan hasilnya. Hal ini menimbulkan kecemburuan bagi orang yang tidak suka padanya. Mereka membenci, memusuhi dan menghalang-halangi misi perjuangan Ridwan.  Anehnya sikap demikian bersumber dan bermuara pada kepala desa (H. Samsul Hadi) yang notabene ia adalah penanggungjawab kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat umum.

Klimaks kebencian ini, kepala Desa mengultimatum Ridwan sebagai penanggungjawab dari mati hiduonya Madrasah Islam, agar hengkang dari tempat yang biasa digunakan kegiatan belajar mengajar dengan alasan bahwa tempat tersebut bukan untuk medrasah tetapi untuk masjid. Ultimatum tersebut tidak dihiraukan oleh Ridwan karena menurut pendapatnya bahwa tempat tersebut sejak dulu digunakan gedung madrasah.[xx]

Silang pendapat dari keduanya tidak dapat ditelerai oelh keduanya maka disidangkan masalah ini di kantor KUA Kecamatan Paciran dengan melibatkan Kepala Desa exkarisidenan Bojonegoro. Hasilnya Ridwan dikalahkan bahwa tempat tersebut bukan untuk madrasah tetapi untuk masjid. Kenyataan ini diterima Ridwan dengan lapang dada kemudian ia bersama rekan-rekan guru mencari tempat lain supaya madrasah yang telah dibangun dengan susah payah tidak bubar begitu saja karena tidak ada tempat. Maka diputuskan membeli sebuah rumah di sebelah timur demi kelancaran kegiatan kelajar mengajar.

Kegiatan belajar mengajar yang paling mendasar dalam madrasah Islam adalah agar ummat terjauh dari hal-hal yang berbau bid’ah, takhayul dan khurofat yang pada waktu itu sangat membelenggu ummat Islam.[xxi]

Di tempat baru ini madrasah Islam mengalami kemajuan yang pesar dari waktu ke waktu dan pada tahun 1957 M. Madrasah Islam Paciran diubah menjadi Madrasah Muhammadiyah Paciran, perubahan ini disebabkan:

  1. Makin pesatnya perkembangan lembaga pendidikan tersebut.
  2. Paham yag dibawa Muhammadiyah sesuai dengan paham yang diajarkan di lembaga pendidikan ini, tingkat pendidikannya Madrasah Ibtidaiyah atau setingkat dengan sekolah dasar.[xxii]

Pada tahun 1958 Madrasah Muhammadiyah Paciran berubah menjadi perguruan Muhammadiyah Paciran yang mengelola pendidikan dari tingkat TK (Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Athfal), Madrasah Ibtidaiyah Mumhammadiyah dan Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah. Kemudian pada tahun 1961 M. perguruan ini mengembangkan diri dari madrasah tsanawiyah menjadi Perguruan Guru Agama (PGA), empat tahun. Hal ini dilakukan sebagai upaya peneuhan terhaap kebutuhan tenaga pendidik yang dirasa pada waktu itu belum mencukupi kebutuhan masyarakat dan pada tahun 1972 M. PGA empat tahun dilengkapi dengan PGA enam tahun. Karena ada kebijaksanaan pemerintah maka pada tahun 1978 M. PGA empat tahun dan enam tahun diubah menjadi Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah (3 tahun) dan Madrasah Aliyah Muhammadiyah (3 tahun).[xxiii]

Peruabahan-perubahan pada lembaga pendidikan ini baik dari sisi nama maupun tingkatnya menunjukkan bahwa perkembangan lembaga pendidikan di Paciran sangat dinamis sebagai pusat pendidikan Islam baik di Paciran maupun di luar Paciran. Perkembangan yang dinamis tersebut membawa dampak positif, yaitu semakin banyak pelajar-pelajar dari luar Paciran menuntut ilmu di lembaga ini. Ditambah alumni-alumninya yang memnjadi muballigh di luar Jawa juga membawa pengaruh semakin banyak pelajar-pelajar luar Jawa yang berdatangan di Paciran. Karena tuntutan semakin banyak pelajar yang berdatangan dari luat Paciran untuk ditampung maka pada tahun 1983 M. Perguruan Muhammadiyah Paciran berubah menjadi Pondok Modern Muhammadiyah Paciran. Perubahan tersebut bukan semata-mata memenuhi kebutuhan penampungan santri yang datang dari luar Paciran semata. Lebih dari itu ridwa sebagai seorang muslim yang memiliki tanggung jawab moral yang tinggi, guna menyiarkan agama Islam dan melestarikan ajaran atau nilai-nilainya maka pesantren merupakan tempat yang strategis sebagai pusat arus kebudayaan Islam dan pengembangkan Islam secara murni dalam arti sebagaimana yang diperkenalkan oleh para mujahid-mujahid pada masa lalu. Dari harapan-harapan Ridwan, akalu didiskripsikan Pondok Modern Muhammadiyah Paciran didirikan dengan tujuan:

  • Untuk mempertahankan kelestarian syi’ar Islam sebagaimana masa Nabi dan sahabat-sahabatnya.
  • Melangsungkan kehidupan pendidikan Islam dengan melalui pondok pesantren.
  • Memberikan keterampilan kepada generasi muda Islam secara mendalam.
  • Membina kader ulama yang mampu menguasai kitab kuning (gundul).
  • Partisipasi terhadap pemerintah untuk membina generasi bangsa agar memiliki moral yang lurus.[xxiv]

Dari beberapa ide yang melandasi tujuan berdirinya pondok ini, bisa diambil kesimpulan bahwa Ridwan menginginkan angin baru bagi ummat Islam, yaitu kesadaran ummat Islam terhadap dirinya sebagai seorang muslim dan ummat bernegara. Sebagai seorang muslim yang sejati hendaknya dirinya betul-betuk mengerti dan mendalami Islam secara benar dan sebagai warga Negara hendaklah dirinya tahu hak dan kewajibannya. Dengan demikian ia akan menjadi warga Negara dari ummat Islam yang baik.

Tingkatan pendidikan yang dikelola oleh yayasan pondok Modern Muhammadiyah Paciran adalah:

  • Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Athfal
  • Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah
  • Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah
  • Madrasah Aliyah Muhammadiyah
  • Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah

Dinamika perkembangan pendidikan pada lembaga tersebut tidak terlepas dari peran utama Kyai Haji Muhammad Ridwan Syarqawi sebagai top figur. Walau kepedulian Ridwan begitu tinggi terhadap dunia pendidikan tetapi RIdwan tidak melupakan aktivitas sosial lainnya. ( al faqir )

 

______________________________

[i] F. Patty, Pengantar Psikologi Umum, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hal. 180

[ii] Silsilah Keluarga Besar Bani Narwi Bersaudara Paciran Lamongan, Cet. 19 Maret 1994. Hal 5

[iii] Ibid, hal. 2

[iv] Ahmad Munir, wawancara, 27 April 1994

[v] ibid

[vi] Salamun Ibrahim, wawancara, 6 Seotember 1994

[vii] Niswah, wawancara, 5 Maret 1994

[viii] Ibid

[ix] Rekaman KH. M. Ridwan oleh DR. Syafiq A. Mughni, 10 Mei 1982

[x] ibid

[xi] ibid

[xii] Najih Ahyat, wawancara, 2 September 1994

[xiii] Rekaman KH. M. Ridwan oleh DR. Syafiq A. Mughni

[xiv] Ibid

[xv] Ibid

[xvi] Ibid

[xvii] Salamun Ibrahim, Wawancara, 8 September 1994

[xviii] Ibid

[xix] Rekaman KH. M. Ridwan oleh DR. Syafiq A. Mughni, 10 Mei 1982

[xx] ibid

[xxi] Abdul Karim Zen, wawancara, 21 Juni 1994

[xxii] Ibid

[xxiii] Latar belakang berdirinya Pondok Modern Muhammadiyah Paciran

[xxiv] Abdul Karim Zen, wawancara, 21 Juni 1994

Leave a Reply