MUHAMMAD RIDWAN SYARQAWI (Gerakan Pemurnian Islam)

  • Post category:KABAR

MUHAMMAD RIDWAN SYARQAWI DAN PENGEMBANGAN GERAKAN PEMURNIAN

  Gerakan pemurnian yang dikembangkan oleh KH. Muhammad Ridwan Syarqawi bukanlah hal yang baru lagi, karena gerakan ini seidentik dengan gerakan pembaharuan yang telah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu, seperti gurunya Kyai AMar sejak abad 18 – 19 M. Gerakan ini telah merebak di Indonesia dari asal tempat munculnya yaitu timur tengah.

“Pembaharuan tersebut, dibawa oleh para  jama’ah haji asal Indonesia yang bermukim beberapa lama di Makkah untuk mendalami agama Islam …. Sejak dibukanya terusan suez pada tahun 1869, setiap tahun ribuan kaum muslimin Indonesia menunaikan ibadah haji ke Mekkah, tidak sedikit dari mereka itu yang membawa ajaran ortodok setelah naik haji atau sekian lama bermukim di tanah suci.”[i]

Para jamaah haji di Makkah, baik secaa langsung maupun tidak langsung mendapat pengaruh dari gerakan pembaharuan Islam, kemudian membawa ajaran-ajaran yag baru setelah mereka pulang dari menunaikan ibadah haji. Lambat laun ajaran tersebut berhasil menggantikan kedudukan mistik dan singkritis jawa yang selama itu menguasai Indonesia. Dan pemerintah Belanda tidak melupakan kenyataan bahwa berbagai perlawanan ummat Islam memang banyak didukung oleh para haji dan ulama. Kenyataan ini menimbulkan banyak di kalangan penguasa yang menginginkan dilarangnya pergi haji, sebab ibadah haji dinilai menyebabkan pribumi menjadi fanatik.[ii] Larangan atau aturan yang mempersulit pergi haji adalah hal yang wajar bagi pemeritah Belanda karena para haji dan tentunya para ulama berperan dalam arus pembaharuan dari pusat pengkajian Islam pada saat itu, yaitu Makkah dan Madinah, banyak pelajar di samping menunaikan ibadah haji juga mendalami ajaran Islam dengan bentuk kelompok sendiri. Kelompok tersebut kebanyakan dari pesantren-pesantren Jawa yang pada abad 19 M. dapat mencetak ulama yang mencapai taraf internasional dan mereka ini banyak yang berhasil menjadi guru besar di Mekka dan Madinah.[iii]

Gerakan pembaharuan tersebut, di samping bertujuan untuk mengubah cara berpikir umat Islam dengan mengembalikan kepada ajaran Islam yang sebenrnya seperti yag ada dalam Al Quran dan Al Hadits, juga sama pentingnya dalam melawan dominasi penjajah. Apabila ditelusuri secara mendalam maka gerakan pembaharuan di Indonesia mempunyai kesamaan pandangan dan tantangan dalam mengintrudusir (memperkenalkan) ide-idenya dan bahkan itu merupakan ciri pembaharuan di mana-mana yang diungkapkan oleh Harry Benda:

“Seperti dimana-mana di daerah Islam yang berada di bawah pemerintah asing, reformasi Indonesia sekaligus melawan empat musuh, yaitu:

  1. Dia menyerang formalisme ortodok Islam yang menjelma di dalam kebudayaan santri di pedesaan Indonesia, maupun ketidakmurnian agama Islam pedesaan yang animistik dan hindu budis, dengan menganjurkan suatu agama yang lebih dari unsure-unsur skolastik dan mistisisme, tetapi masih sesuai dengan kehidupan sehari-hari.
  2. Dia menyerang terhadap lembaga-lembaga Indonesia pra-Islam yang menjelma dalam adat dan kebudayaan yang secara tradisional telah menghalangi perluasan cara hidup Islam yang sebenarnya.
  3. Berusaha membendung wasternalisasi dengan mengidentifikasian Islam dengan keterpisahaan yang berpusatkan kepada nilai-nilai dan norma-norma barat baik yang Kristen maupun yang skuler. Kaum reformis menyadari bahwa Belanda dengan kebijaksanaan asasinya dan bahayanya dengan kaum reformis dan mereka juga menganut pendapat yang sama dalam kecurigaan yang mendalam terhadap gerakan pembaharuan ini.
  4. Reformasi Indonesia bertentangan dengan statusqou kolonialisme itu sendiri, yang sama kekuasaan politiknya, pemerintah colonial sengaja mendukung lembaga-lembaga adat bai di kota atau desa dengan tujuan untuk menanamkan dan memperkuat pengaruhnya.[iv]

Selanjutnya gerakan pembaharuan tersebut telah memberikan suasana baru terhadap perkembangan ummat Islam di Indonesia. Gerakan pembaharuan pemikiran Islam tersebut telah membuka babak baru dalam sejarah Indonesia. Keinginan untuk mengadakan pembaharuan, tepatnya kemurnian paham atau praktek keagamaan Islam, jika dihadapkan pada persoalan bid’ah, takhayul, khurofat, semakin mungkin untuk dilaksanakan pada abad 19 M. ketika banyak kalangan terpelajar Islam yang kembali dari Mekkah. Kepulangan mereka tidak saja membawa paham-paham keagaman yang bersemangat wabahiyah saja, melainkan juga paham lain yang berasal dari tokoh pembaharu Islam, seperti Jamaluddin Al Afghoni, Muhammad Abduh, Rasid Ridlo dan lain-lain.[v]

Gerakan pemurnian yang dilakukan oleh KH. Muhammad Ridwan Syarqawi pada awal abad 20 M. merupakan gerakan lanjutan sebagai hasil resonansi dari pada gerakan-gerakan sebelumnya, dalam rangka proses pengislaman yang berusaha mendekatkan masyarakat yang sudah mengakui dirinya sebagai penganut Islam kepada ajaran Islam yang utuh dan abadi kea rah ortodoksi yang sesungguhnya kepada ajaran “Ahlussunnah Wal Jama’ah” yang murni dan menghapus segala hal yang dianggap bid’ah.

  1. FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG DIKEMBANGKANNYA GERAKAN PEMURNIAN

Sekembalinya Ridwan belajar dari Kyai Amar (tokoh pembaharu di pondok pesantrean Maskumambang) dengan membawa sejumlah ilmu pengetahuan agama dan pesan dari gurunya. Ia melihat suatu kenyataan yang terjadi di daerah Paciran dan sekitarnya, masih banyak orang-orang Islam yang mencampuradukkan antara tauhid dan tahayul yang beraneka macam, tahayul yang terselubung dengan beribu satu macam kepercayaan yang diserupakan dengan kepercayaan Islam. Di antaranya ialah mereka mengadakan upacara keselamatan disebabkan untuk mendamaikan makhluk-makhluk halus dan menolak pengaruh-pengaruh jahat dari makhluk-makhluk tersebut.[vi]

Selamatan ini biasanya dilakukan pada saat yang dipandang penting dalam kehidupan manusia seperti : perkawinan, kelahiran, kematian, panen tani dan nelayan. Ada juga yang memintapertolongan pada roh-roh orang mati yang dianggaonya mempunyai kekuatan ghoib, sehingga mereka sering datang ke kuburan-kuburan yang dianggap keramat dengan membawa makanan (ambeng) pada hari-hari tertentu.[vii] Mereka masih percaya terhadap kekuatan benda-benda keramat samacam keris, akik, haikal-haikal dan sebagainya. Bahkan, mereka sering datang ke sebuah pohon yang besar atau cungkup-cungkup yang dikeramatkan untuk mengadakan upacara pemujaan dengan membawa tumpeng.[viii]

Selain tersebut di atas, merea melaksanakan syari’a Islam hanya pada lbatas-batas tertentu. Mereka menerima pelajaran agama dari para ulama yang diliputi oelh sikap taklit buta dan fanatik madxhab, sehingga mereka bersikap menerima apa adanya dan patuh sepenuhnya terhadap apa yang telah dikatakan oleh seorang kyai.

“Orang-orang yang mempelajari agama yang belum mempunyai keahlian memahami AL Qur’an dan Al Hadits, jangan mudah membelokkan dirinya sendiri dengan mencampuri ilmu agama dari jalan yang gelap, maksudnya dari orang-orang yang tidak mempunyai identitas ulama secara jelas dengan bukti keahlian dan kealimannya. Seharusnya ada bukti yang nyata jika orang itu alim, mengerti dan jujur dalam menunjukkan orang yang mencari kebenaran. Begitulah, walau orang-orang itu menunjukkan ide apa saja, maka jangan diterima penjelasannya, kecuali ada bukti sebagaimana di atas. Sejak zaman sahabat fatwa dan riwayat orang yang majhul, tidak boleh dianggap apa-apa di dalan agama.”[ix]

Dengan demikian, rasa taklid yang membabi buta dan fanatik madzhab yang berlebihan harus ditinjau kembali serta seluruh fatwa tidak boleh langsung diamalkan tetapi disaring terlebih dahulu, kemudian mencari alternatif yang lebih mendekati kebenaran yang sesuai dengan Al Qur’an dan Al Hadits. Jika rasa taklit itu tetap dipertahankan maka dari sini timbulnya sumber amalan-amalan bid’ah yang menyimpang dari ajaran Islam.

Atas dasar banyaknya penyimpangan-penyimpangan di masyarakat, baik di bidang aqidah maupun ibadah serta didasari dengan rasa komitmennya pada nilai-nilai kebenaran sebagai bukti nyta setia pada janji yang telah diucapkan pada gurunya (kyai Amar) maka faktor inilah yang mendorong Muhammad Ridwan Syarqowi untuk melakukan koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat pada saat itu.[x] Kemudian ia melancarkan ide-idenya sebagai upaya pengembangan gerakan pemurnia yang selaras dengan gerakan pembaharuan.

CARA-CARA PENGEMBANGAN GERAKAN PEMURNIAN

Dalam mengembangkan gerakan pemurnian pengalaman ajaran Islam pada masyarakat Paciran, Muhammad Ridwan Syarqawi menggunakan beberapa cara yaitu:

  1. Khutbah Jum`at

Pada hari Jum`at setiap orang Islam laki-laki dianjurkan meninggalkan segala kesibukannya supaya pergi ke masjid untuk memenuhi panggilan Allah, yaitu shalat Jum’at. Hal ini sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat Islam sehingga banyak orang yang berada di rumah. Bagi orang-orang nelayan hari Jumat selain digunakan shalat jumat di masjid-masjid juga dihunakan sebagai hari istirahat dan juga mengecek kondisi perahu.

Bagi para petani tidak begitu berbeda, karena antara tempat kerja dengan rumah relatif dekat, hanya saja mereka pulang lebih siang. Di saat semua orang meninggalkan segala kesibukannya guna melakukan shalat jumat. Ridwan sebagai seorang yang komitmen terhadap nilai kebenaran di saat menjadi khotib ia sampaikan ide-ide pemurnian ini kpada jamaah.[xi]

Dari jumat ke jumat, ia khutbah di berbagai masjid. Ide-ide itu selalu disampaikan pada jamaah sebagai koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di masyarakat. Dari sini timbul gejolak yang luar biasa sebagai reaksi terhadap sikap koreksi Ridwan.

  1. Ceramah Undangan

Aktivitas sosial dalam bentuk kegiatan ceremonial sering dilakukan  oleh masyarakat seperti peringatan hari-hari besar Islam dan walimah kemanten. Untuk menyemarakkan acara ini mereka biasanya mengundang tokoh-tokoh masyarakat seperti kyai dan alim ulama untuk memberi siraman rohani bagi tamu-tamu yang diundang.

Ridwan, seorang alim ulama di daerah Paciran forum-forum seperti itu. Forum tersebut dimanfaatkan Ridwan untuk mengembangkan ide-ide pemurnian terhadap amalan-amalan yang berbau bid’ah, takhayul dan khurafat yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat dengan dasar Al Qur’an dan Al Hadits yang shahih.[xii]

Dalam memberikan penjelasan pada masyarakat tentang hal-hal di atas, ia gunakan bahasa yang sederhana dengan gaya humor yang disertai ancaman-anacaman. Kebanyakan dari orang-orang awam, mereka takut tidak akui sebagai orang Islam dan tidak diperlakukan sebagai orang Islam saat ia meninggal dunia.[xiii]

  1. Pengajian Rutin

Pengajian ini bermula dari sekelompok muda-mudi Islam Paciran yang ingin tahu tentang hukum Islam dengan benar. Niatan ini diterima Ridwan dengan senang hati dan dimanfaatkan Ridwan dalam mengembangkan ide-ide pemurniaan pengalaman ajaran Islam pada generasi muda. Kegiatan ini diselenggarakan pada tiap hari Jumat malam dan Senin malam.[xiv]

Semula kegiatan ini hanya diikuti oleh sejumlah pemuda-pemudi yang cukup dihitung dengan jari tangan, kemudia dalam perkembangan berikutnya sangat menggembirakan karena kegiatan ini diikuti oleh ratusan pemuda-pemudi juga orang tua.

Kitab-kitab yang dipakai pada waktu itu adalah:

  1. Tafsir Al-Qur’an
  2. Hadits Bulughul Maram
  3. Ta’limul Muta’alim
  4. Muawanah
  5. Zubbat

Ditambah sejumlah buku sebagai pedoman penjelasan, yaitu:

  1. Iqtidho’ al Shirothil Mustaqim
  2. Asy Syiasah al  Syar`iyah
  3. Tauhid (karanga Abdullah bin Ba’as)
  4. Tauhid (Muhammad Muhammad bin Abdul Wahab)
  5. Al Mubtadaat
  6. Attawasul Wal Washilah
  7. Addinul Kholis .[xv]

 

  1. Diskusi

Selain memerikan pengajian dan penjelasan di tiap-tiap khutbah Jum’at dan tiap-tiap undangan pengajian, ia juga melakukan silaturrahim ke tokoh-tokoh masyarakat yang menantang ide-ide pemurniannya untyk diajak diskusi.

Dari sejumlah tokoh yang diajak berdiskusi, semuanya tidak bisa memberikan tanggapan dengan hujjah yang balighoh, kebanyakan dari mereka mempertahankan hal itu karena mengikuti pendahulunya.[xvi]

 

  1. Pembongkaran

Selama kurun waktu tertentu yang telah digunakan Ridwan untuk mengembangkan pemurnian ini, semakin hari simpati dan dukungan masyarakat semakin bertamabha guna mengamalkan ajaran Islam dengan benar. Akibat dari itu sejumlah pemuda yang tidak mau mengikuti kegiatan-kegiatan yang bernapaskan bid’ah, takhayul dan khurofat, mereka ditangkap oleh aparat kepolisian pada saat itu dan baru dilepaskan setelah Ridwan mempertanggungjawabkan.

Pengalaman ini tidak membuat pemuda-pemuda menjadi kehilangan nyali tetapi malah sebaliknya, sikap pemuda semakin berani. Hal ini dimanfaatkan Ridwan untuk menghancurkan semua tempat-tempat yang dipuja-puja dan berhala-berhala mereka.[xvii]

 

  1. Pendidikan

Muhammad Ridwan Syarqawi adalah kepada Madrasah Islam Paciran, ia mempunyai peluang besar dalam mewarnai lembaga yang dipimpinnya. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Ridwan dengan sebaik-baiknya dalam rangka menanamkan misi gerakan pemurnian pengalaman ajaran Islam yang benar (sesuai dengan Al-Qur’an dan AL Hadits) sejak usia dini dan juga sebagai penataan terhadap sikap mental anak-anak yang Islami.

Untuk mencapai tujuan tersebut, suasana yang membangun Ridwan dalam lembaga yang dipiimpinnya adalah disiplin dan dialogis dan memberikan kesempatan bagi murid-muridnya untuk berlatih menyampaikan penjelasan keagamaan kemudia dilanjutkan dengan Tanya jawab sebagai uji kebenaran terhadap penjelasan yang disampaikan.[xviii]

Dari sini telah melahirkan tokoh-tokoh yang kwalifait untuk terjun di masyarakat dan siap untuk ditempatkan di mana saja.

  1. OBYEK PENGEMBANGAN GERAKAN PEMURNIAN

Ide-ide gerakan pemurnian yang dikembangkan oleh Ridwan, mustahil dapat dikembangkan dengan baik tanpa adanya upaya, peluang dan obyek. Obyek pengembangan gerakan pemurnian sangat penting karena lekat sekali dengan kelangsungan gerakan ini di masa ke depan.

Masyarakat Paciran merupakan obyek pertama, masyarakat ini diharapkan menjadi pilot projek desa percontohan yang bebas dari unsur takhayul, khurofat dan bid’ah, kemudia gerakan ini dikembangkan pada masyarakat desa sekitarnya seperti Blimbing, Brondong, Weru, Kranji, dan lain-lain.[xix]

Untuk menperluas objek pengembangan gerakan pemurnia ini, mustahil kalau wilayah yang luas itu dapat ditangani seorang diri, oleh karena itu proses kaderisasi sangat dibutuhkan dalam kesinambungan gerakan ini, maka setiap murid atau santri yang berprestasi diharapkan mampu mengembangkan gerakan ini di daerahnya masing-masing dan siap untuk dikirim ke luar daerah. Dari kegiatan ini memberi dampak positif bagi lembaga yang dikelola Ridwan yaitu banyak santri-santri yang datang dari luar Paciran atau bahkan luar Jawa.[xx]

  1. PENERIMAAN MASYARAKAT

Peluncuran ide-ide pemurnian pengalaman ajaran pada masyarakat dirintis sekitar tahun 1935 M. lewat khutbah Jumat dan ceramah-ceramah di berbagai tempat, padahal pada saat itu, “sebagian dari ummat Islam ada yang melaksanakan syariat Islam hanya sampai pada batas tertentu, mereka mendapatkan pelajaran agama dari para ulama, mereka ini meliputi oleh sikap taklit yang membeli buta dan fanatik madzhab. Dalam golongan ini banyak tersebar perbuatan-perbuatan bid’ah serta tahayul serta hal-hal lain yang mereka anggap termasuk ajaran agama, padahal sama sekali bukan.”[xxi]

Kenyataan ini diperjelas lagi oleh Drs. A. Shomad Hamid dalam bukunya Islam dan pembaharuan, yaitu:

“Suatu kenyataan yang masih terbukti hingga sekarang bahwa sekalipun banyak penduduk mengaku penganut agama termasuk agama Islam tetapi dalam buktinya masih melekat paham kepercayaan asli nenek moyang mereka, kepercayaan terhadap roh halus,  pemujaan terhadap arwah nenek moyang dan leluhur dengan sesaji, upacara selamatan berlangsung terus.”[xxii]

Kenyataan ini dibongkar oleh Ridwan seorang diri sebagai koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan ajaran Islam dari sebenarnya lewat ide-ide pemurniannya. Reaksi masyarakat saat itu luar biasa, baik dari orang-orang bodoh maupun orang pintar, semuanya menentang Ridwan, mereka menudingnya menentang tatanan yang sudah dianggap mapan.[xxiii]

Sikap penerimaan masyarakat seperti itu tidak mengurangi kegigihan Ridwan dalam menjalankan gerakan pemurnia pada masyarakat. Penjelasan dan sebagainya senantiasa dilakukan demi terbentuknya pemahaman keislaman yang benar pada masyarakat. Usaha-usaha Ridwan tidak sia-sia karena dalam tempo yang relative singkat, penerimaan dan dukungan masyarakat semakin hari semakin bertambah kecuali orang-orang tertentu saja yang tetap menolak dengan ide ini.

  1. FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT

Pada kehidupan masyarakat senantiasa muncul perbedaan-perbedaan. Hal ini menimbulkan sikap pro dan kontra. Sikap pro akan muncul apabila sesuatu itu sejalan dengan dirinya begitu pula sebaliknya sikap kontra akan menyala-nyala apabila hal itu tidak sejalan dengan dirinya atau bahkan merugikannya.

Beberapa usaha yang telah dilakukan Ridwa dalam mengembangkan ide pemurnian pada masyarakat agar mereka paham dan mau menerima. Walau demikian ia juga masih menemui hambatan-hambatan, yaitu:

  1. Kepala Desa

Pada saat Indonesia masih di bawah kekuasaan penjajah Belanda, segal bentuk kekuasaan (hirarki) diatur dan harus sesuai dengan kehendak Belanda maka kepala Desa yang angkat harus bisa membawa misi Belanda yang imperialis. Misi yang diemban kepala Desa ini terefleksi pada sikap-sikap nyata dalam merespon terhadap perkembangan masyarakat dengan semena-mena.

Kondisi ini digambarkan oleh Najih Ahyat dalam bukunya ‘Pengaruh Wahabi di Indonesia” sebagai berikut.

“Di antara ummat Islam Indonesia terdapat kelompok budak pendidikan dan kebudayaan barat, pendidikan dan kebudayaan kaum penjajah. Golongan inilah yang mempunyai pandangan bahwa agama tal lain hanyalah sekadar kepercayaan individu dan beberapa upacara ritual yang terbatas di rumah-rumah ibadah yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan sosial budaya, ekonomi dan lain sabagainya. Kalaupun ada, maka itu hanya dalam hal yang sangat terbatas seperti kaidah-kaidah moral yang bersifat umum. Golongan ini adalah termasuk kebanyakan mereka yang memegang tampuk pemerintahan di bawah telapak kaki penjajah.”[xxiv]

Ide-ide gerakan pemurnian pengalaman ajaran Islam yang dikembangkan Ridwan pada msyarakat, behadapan langsung dengan Kepala Desa yang dholim yang dengan sengaja menghidup-hidupkan budaya lama agar senantiasan dijalankan masyarakat. Dalam hal ini Bolan berkata:

“Reformasi Indonesia bertentangan dengan status qou colonial itu sendiri, yang sma dengan kekuasaan politiknya, pemerintah kolonial sengaja mendukung lembaga-lembaga adat baik di kota atau di desa dengan tujuan untuk menanamkan dan memperkokoh pengaruhnya.”[xxv]

Usaha-usaha Kepala Desa (H. Samsul Hadi) untuk menghalang-halangi Ridwan dalam mengembangkan gerakan pemurnian, tidak berhenti dalam batas Indonesia merdeka saja tetapi usaha itu senantiasa dilakukan dalam bentuk apapun seperti memerintahkan orang lain untuk membakar rumahnya dan sebagainya. Ketika agresi militer II berlangsung Belanda mulai masuk di Paciran dan sekitarnya. Momen ini dimanfaatkan oelh Kepala Desa untuk menghabisi orang-orang yang tidak sejalan dengannya. Akibatnya, Kyai Amin, Kyai Zuber bersama 7 orang lainnya diekskusi Belanda. Sedangkan Ridwan mampu menyelamatkan diri dari siasat licik Kepala Desa. Kegagalan ini mendorong dia menggunakan dukun tenun untuk membunuhnya, namun gagal. Kegagalan ini tidak membuat dia sadar tetapi membuat dendam yang berkepanjangan sampai dibawa mati.[xxvi]

  1. Aparat

Usaha-usaha Ridwan dalam mengembangkan ide gerakan pemurnian pada awal kemerdekaan Indonesia telah menampakkan hasil. Dukungan dan partisipasi masyarakat mulai bermunculan. Hal ini Nampak pada sikap-sikap mereka dalam merespon terhadap kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh aparat penguasa pada saat itu. Kegiatan-kegiatan yang berbau khurofat, takhayul mulai ditinggalkan mereka. Akibatnya, banyak dari mereka terutama masyarakat nelayan ditahan dan bahkan layar perahunya ditembaki oleh aparat (angkatan laut yang dholim), sampai robek-robek karena mereka tetap melaut pada saat upacara sedekah laut akan diselenggarakan.[xxvii]

Dari sejumlah tahanan oleh aparat diintrogasi satu persatu yang kesemuanya menjawab bahwa sikap mereka yang demikian adalah refleksi dari taatnya kepada Kyia Ridwan. Pengakuan mereka ini menyeret Ridwan berurusan dengan polisi guna mempertanggungjawabkan terhadap apa yang telah disampaikan pada masyarakat, maka dengan tegas Ridwan menjawab bahwa apa yang telah ia sampaikan bukan sesuatu yang bertentangan dengan UUD ’45 dan pancasila terutama sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.[xxviii]

  1. Tokoh Masyarakat

Hambatan dalam mengembangkan gerakan ini tidak hanya terbatas pada orang-orang awam tentang Islam, tetapi dari para tokoh masyarakat notabene mereka adalah seorang kyai dan ulama yang dijadikan tempat bertanya dan panutan dalam kehidupan nyata, juga menjadi penghambat dari gerakan Ridwan ini. Walau demikian Ridwan tetap berusaha untuk menyampaikan apa yang diyakini benar menurut Al Qur’an dan AL Hadits. Hal ini merupakan tugas agama yang harus diembannya karena dalam Islam ditegaskan: “Sampaikanlah apa yang benar walau pahit rasanya.”

Keteguhan dan keberanian Ridwan dalam menyampaikan ide-ide pemurniannya, sebagai sikap mengkritisi terhadap penyimpangan-penyimpangan amalan. Islam yang terjadi pada masyarakat, menimbulkan ketersinggungan pada pihak-pihak lain. Pihak yang mempertahankan bahwa apa yang telah dipraktekkan oleh pendahulu-pendahulu yang sangat dikaguminya, maka langkah awal yang dilakukan mereka di antaranya mengkondisikan agar Ridwan tidak membicarakan masalah-masalah itu di hadapan umum, dengan cara mengirimkan utusan untuk menyampaikan maksud ini. Tetapi karena ini adalah suatu kebenaran yang harus disampaikan maka dalam kesempatan ini khutbah Jumat ia bongkar kesalahan-kesalahan itu. Akibatnya ia diseret dari mimbar jumat tetapi ia tetap melanjutkan khutbahnya di bawah mimbar sampai sempurna. Hal ini menimbulkan kegaduhan dalam pelaksanaan ibadah shalat jumat, kegaduhan semakin menjadi-jadi ketika orang-orang awam ikut berteriak, “Tangkap Ridwan, Pegang Ridwan, jangan boleh bicara.”[xxix]

Pemahaman keagamaan tokoh-tokoh masyarakat yang telah diwarnai kejumudan dan rasa taklid buta terhadap guru-gurunya serta ta’asuf yang berlebihan, membuat mereka tidak mampu terbuka terhadap ide gerakan pemurnian yang dirasa bertentangan dengan kebiasaan dan persepsi keagamaan yang terbangun pada dirinya. Sehingga mereka senantiasa mengembalikan masalah-masalah keagamaan pada pengalaman guru-gurunya bila mereka dihadapkan dengan ide pemurnian.[xxx] Gambaran demikian dapat dilihat pada surat Luqman ayat 21:

Dan apabila dikatakan pada mereka “ikutilah apa yang diperintahkan Allah” mereka menjawab (tidak) tapi kami (hanya) apa yang kami dapat Bapak-bapak kami mengerjakannya.”[xxxi]

 

  1. Saudaranya

Ridwan adalah anak ke-4 dari 12 bersaudara. Ia lahir dari pasangan Syarqawi dan Aisyah. Semua putra-putro Syarqawi hampir menjadi pelopor keagamaan pada masyarakat Paciran dan peran ini diambil setelah mereka menuntut ilmu agama di berbagai tempat. Keperbedaan ini membuahkan hasil pemahaman keislaman mereka juga berbeda-berbeda. Bahkan, ada yang bertolak belakang antara satu dengan yang lain, sehingga perselisihan tidak dapat dihindari seperti Ridwan dengan Asyhuri.

Pemahaman keagamaan Ridwan lebih mengacu pada al Qur’an dan al Sunnah al Shohihah yang menginginkan adanya pembenahan-pembenahan terhadap keislaman masyarakat, terutama masalah tauhid baik tauhid Rububiyah maupun tauhid Uluhiyah, menurut penilaiannya sudah banyak tercemar dengan bid’ah, takhayul dan khurofat.

Pemahaman keislaman Saudaranya lebih mengacu pada madzhab Syafi’ie yang beranggapan bahwa tatanan pengamalan ajaran Islam yang telah dipraktekkan masyarakat sebagai hasil dari warisan pendahulunya, adalah sesuatu yang sudah mapan dan mutlak kebenarannya sehingga perlu dilestarikan dan ditumbuhkembangkan dalam praktek kehidupan ummat islam pada umumnya.

Masalah ini tidak berhenti di interen keluarga Syarqawi saja, tetapi sudah menjadi milik masyarakat karena kedua kubu ini memiliki pengikut yang tidak kecil jumlahnya. Benturan-benturan kecil ini semakin hari semakin menghangat suhunya, sehingga pernah hampir terjadi baku hantam antara saudaranya sendiri.

Perbedaan paham ini melahirkan lembaga pendidikan Islam yang berbeda yaitu Pondok Modern yang didirikan oleh Ridwan dan berafiliasi dengan Pesyarikatan Muhammadiyah. Sedangkan Pondok Pesantren Mazroatul Ulum didirikan oleh Asyhuri dan berafiliasi dengan Nahdlotul Ulama. Perbedaan ini berlangsung sampai kedua kembali kehadirat Allah SWT. Mudah-mudahan keduanya diterima di sisi Allah sebagai Ahlul Jannah.

  1. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPERLANCAR

Gerakan pemurnian pengamalan ajaran Islam pada masyarakat merupakan aplikasi dari konsep penegakan amar ma’ruf dan nahi munkar. Sikap demikian sangat terpuji dan mulia di hadapan Allah dan di anatar pujian Allah terhadap orang yang mau menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap dalam surat Ali Imron ayat 110 yang berbunyi:

Artinya:

“Engkau (Muhammad dan kaum muslimin) adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.[xxxii]

Di samping itu suatu pujian untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar itu sendiri adalah suatu anjuran dari Allah semua orang Islam tanpa memperdulikan siapa dia. Hal ini tersebut dalam surat Ali Imron ayat 104 yang berbunyi:

Artinya:

Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

 

Dalam hal ini Rasulullah bersabda:

Barangsiapa melihat suatu kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dengan lidahnya (ucapan), dan apabila tidak mampu juga hendaklah dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman. (HR. Imam Muslim dan Imam Turmudzi)[xxxiii].

Konsep-konsep tersebut di atas memberikan inspirasi kuat pada Ridwan dalam mengembangkan gerakan pemurnian pengamalan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat, sebagai gerakan koreksi dan penegakan amar ma’ruf nahi mungkar yang dirintis seorang diri. Hambatan perjuangan senantiasa ada tetatpi tidak mengurangi semangat Ridwan dalam mengembangkan misinya, di samping hambatan ada juga faktor-faktor yang memperlancar di antaranya adalah:

  1. Masyarakat

Masyarakat yang mengikuti pendapat Ridwan adalah mereka yang sering mendengarkan ceramahnya yang diadakan di masjid pada tiap malam Sabtu dan Selasa dan juga mereka yang mengundang Ridwan untuk ceramah di tempat mereka masing-masing. Mereka sebagai pendukung Ridwan tentu saja mengamalkan ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh Ridwan.

Jamaah pengajian ini di samping diadakan di Paciran juga diadakan di Brondong yang semula yang semula hanya diikuti oleh beberapa orang saja tetapi dalam perkembangan berikutnya peserta jamaah pengajian ini menjadi ratusan orang baik laki-laki maupun perempuan.[xxxiv] Mereka inilah yang memperlancar pengembangan gerakan pemurnian pengamalan ajaran Islam pada masyarakat.

 

  1. Murid Ridwan

Pada masa Ridwan memegang pimpinan lembaga pendidikan Islam  yang diwarnai dengan paham pemurnian. Kebanyakan para muridnya siap menerima pikiran-pikiran Ridwan, sebab jika ada murid yang tidak setuju dengan pendapat Ridwan pada saat ini, barang kali mereka akan mengundurkan diri sebagai seorang murid. Murid-murid inilah sebagai kader pendukung pengembangan gerakan pemurnian Islam dan pada gilirannya mereka diharapkan menjadi pelopor gerakan ini di daerahnya masing-masing.[xxxv] (al faqir)

 

________________________

[i] Aqib Suminto. H, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta, 1989, hal. 3

[ii] Ibid, hal 5

[iii] Zamach Syari Dhofier, Tradisi Pesantren LP3ES, Jakarta, 1983, hal. 85.

[iv] Harry J. Benda, Bulan Sabit Matahari, terbit Terj. Pustaka Jaya, Jakarta, hal 72 – 73.

[v] Fachry Aly dan Bachtiar Efendi, Meramba jalan Baru Islam, Putaka Dian, Jakarta, 1985, hal 18

[vi] A. Zainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam pada Awal Abad 20, PT. Bina Ilmu, Sby. 1981, hal 54

[vii] Salamun Ibrahim, Wawancara, 8 April 1994

[viii] Abdul Karim Zen, Wawancara, 20 April 1994

[ix] Najih Ahyat, Wawancara, 2 September 1994

[x] Sun’an Karwalib, Wawancara 27 Sepetember 2994

[xi] Mukrim, Wawancara, 5 Mei 1994

[xii] Rekaman KH. M. Ridwan Syarqawi oleh Dr. Syafiq A. Mughni, Paciran, 10 Maret 1982

[xiii] Mukrim, Wawancara, 5 Mei 1994

[xiv] Rekaman KH. M. Ridwan Syarqawi oleh Dr. Syafiq A. Mughni, Paciran, 10 Maret 1982

[xv] Rekaman KH. M. Ridwan Syarqawi oleh Dr. Syafiq A. Mughni, Paciran, 10 Maret 1982

[xvi] Rekaman KH. M. Ridwan Syarqawi oleh Dr. Syafiq A. Mughni, Paciran, 10 Maret 1982

[xvii] Rekaman KH. M. Ridwan Syarqawi oleh Dr. Syafiq A. Mughni, Paciran, 10 Maret 1982

[xviii] Nur Hadi, Wawancara, 5 Maret 1994

[xix] Rekaman KH. M. Ridwan Syarqawi oleh Dr. Syafiq A. Mughni, Paciran, 10 Maret 1982

[xx] Khoiruman Ilham, Wawancara, 18 Maret 1994

[xxi] Najih Ahyat, Pengaruh Wahabi di Indonesia Bangil, Pustaka Abdul Muis, 1986, hal. 6

[xxii] A. Shomad Hamid, Islam dan Perubahan, Bina Ilmu, Surabaya, 1984, hal. 58.

[xxiii] Sun’an Karwalib, Wawancara, 5 Mei 1994

[xxiv] Najih Ahyat, Op. Cit

[xxv] Harri J. Benda, Loc. Cit.

[xxvi] Rekaman KH. M. Ridwan Syarqawi oleh Dr. Syafiq A. Mughni, Paciran, 10 Maret 1982

 

[xxvii] Rekaman KH. M. Ridwan Syarqawi oleh Dr. Syafiq A. Mughni, Paciran, 10 Maret 1982

[xxviii] Rekaman KH. M. Ridwan Syarqawi oleh Dr. Syafiq A. Mughni, Paciran, 10 Maret 1982

[xxix] Rekaman KH. M. Ridwan Syarqawi oleh Dr. Syafiq A. Mughni, Paciran, 10 Maret 1982

[xxx] Rekaman KH. M. Ridwan Syarqawi oleh Dr. Syafiq A. Mughni, Paciran, 10 Maret 1982

[xxxi] Al Qur’an, Terj. Mahmud Suyuti, Alma’arif, Bandung, 1989, hal. 372.

[xxxii] Ibid, hal. 59

[xxxiii] Imam Muslim, Shaheh Muslim, Almathba’ah Almishriyah, hal. 22

[xxxiv] Rekaman KH. M. Ridwan Syarqawi oleh Dr. Syafiq A. Mughni, Paciran, 10 Maret 1982

[xxxv] Ahmad Munir, Wawancara, 27 April 1994

Leave a Reply