Meneladani Bu Munifah, sebagai Hafidhah, Pendidik dan Aktifis Sejati

  • Post category:ARTIKEL

Oleh: M. Rifqi Rosyidi
(Putra Ketiga dan Mudir Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan).

Pondok Modern Muhammadiyah Paciran berduka. Bu Munifah pelaku sejarah berdirinya Pondok Modern Muhammadiyah dan pengasuh asrama putri meninggal dunia. KH. M. Ridlwan Syarqawi, pendiri Pondok Modern Muhammadiyah Paciran pada tahun 1356 H menikah dengan Syukriyah dan dikaruniai tiga anak, 2 putri dan 1 putra. Anak pertama bernama Ghanimah wafat ketika umur 5 tahun. Munifah merupakan anak keduanya, sedangkan anak ketiga laki-laki bernama Faruq yang meninggal dunia ketika baru berumur 17 hari. Bu Fah, begitu sapaan akrab para santri sehari-hari, lahir pada hari Rabu Pon pagi sebelum terbit matahari pada tanggal 7 Ramadhan 1359 Hijriyah bertepatan dengan 9 oktober 1940. Setelah menjalani perawatan intensif di R.S. Suyudi Paciran selama 15 hari dan menjalani perawatan di rumah (home care) selama 7 hari, bu Fah wafat pada hari jumat malam sekitar pukul 08.15 wib tanggal 3 Nopember 2023 bertepatan dengan 19 Rabiul Akhir 1445. Dengan demikian kalau dikonversi dengan tahun masehi usianya 83 tahun. Apabila dihitung sesuai tahun hijriyah beliau berusia 86 tahun.

Munifah kecil mulai diajarkan membaca al-Quran ketika umurnya 6 tahun. Pertama-tama dibimbing membacanya dengan mengeja hurufnya menggunakan metode talqin sampai juz 5. Selanjutnya bisa membaca sendiri tanpa bimbingan sampai khatam pada hari Rabu Pon 27 Ramadhan 1367 H pada usia 8 tahun 19 hari. Pada usia 9 tahun tepatnya tanggal 15 Sya’ban 1368 H, Munifah dinikahkan dengan A. Karim Zen di rumah kyai Anwar Palang waktu mengasingkan diri pada masa agresi Belanda.

Pernikahan yang dini ini bukan sebagai penghalang bagi mereka berdua untuk tetap menutut ilmu dan menghafal al-Quran. Karena tidak lama setelah menikah tepatnya bulan shafar 1369 H, masing-masing meneruskan program hafalan al-Qurannya ke pesantren yang berbeda. Bu Munifah mondok di Lasem yang diasuh oleh Kyai Maksum. Sedangkan pak A. Karim Zen melanjutkan ke Sidayu (Kutho) di bawah bimbingan kyai Dawud bin kyai Munawwir. Sesuai dengan yang pernah diceritakan oleh bu Munifah, beliau berhasil menghafalkan al-Quran selama kurang lebih 2.5 tahun, sementara pak dul Karim sendiri berhasil menghafal dalam waktu tidak kurang dari 1.5 tahun. Munifah dan A. Karim menjadi pasangan hafidz dan hafidzah, yang selalu menjaga hafalannya dengan murajaah setiap saat. Beliau bu Munifah pernah bercerita bahwa ketika mengunjungi putra-putranya yang mondok di Gontor, sepanjang perjalanannya di atas bus selalu dimanfaatkan untuk murajaah dengan baik.


Sebagaimana M. Ridlwan Syarqawi ayahnya dan A. Karim Zen suaminya, selain penghafal al-Quran, bu Fah juga mahir berbahasa arab aktif, menguasai ilmu alatnya seperti sharaf dan nahwu berbasis nadham alfiyah, dan lancar membaca “kitab kuning”. Tidak berlebihan kalau Bu Munifah dikatakan sebagai salah satu profil guru berkemajuan. Sebenarnya beliau hanya produk pendidikan pesantren tradisional, tidak pernah mengenyam pendidikan formal dan bukan sarjana pendidikan tetapi ketika menjadi guru selalu menggunakan metode yang terbarukan dalam mengajar. Misalnya ketika sebelum zamannya ngaji dengan metode iqra’, dan umumnya guru-guru ngaji mengajarkan al-Quran mengunakan metode ejaan alif fathah A, alif kasrah I, alif dhammah U, bu Munifah sudah memakai metode mubāsyirah seperti sekarang ini, yaitu langsung dibaca bunyi harakatnya dengan metode talqin. Begitu pula ketika masih aktif mengajar bahasa arab dan sharaf di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Paciran, beliau menerapkan metode yang sistematis sehingga mudah dihafal dan dipahami.


Ketika mengajarkan al-Quran, beliau menerapkan metode yang bervariasi sesuai dengan tingkatan siswa yang dihadapi. Ketika berhadapan dengan anak-anak tingkat sekolah dasar, tajwid dan makhraj tidak begitu ditekankan karena tujuan utamanya adalah membiasakan anak-anak membaca al-Quran dengan senang tanpa beban takut sering disalahkan. Berbeda halnya ketika mengajar ngaji santriwati kelas akhir. Di sinilah beliau sangat ketat dalam menerapkan kaidah tajwid dan kebenaran makhraj. Karena tujuannya memberi sentuhan akhir bagi santriwati sebagai bekal sebelum lulus.
Ketika masih kecil saya pernah bertanya kepada beliau pada malam hari raya tentang jumlah Allahu Akbar di dalam takbiran, apakah tiga kali atau hanya dua kali.


Tanpa harus menyebutkan perbedaan yang bisa membuat bingung anak kecil beliau menyederhanakan jawabannya dengan ungkapan: kalau di lapangan dua kali dan kalau di masjid tiga kali. Semasa hidupnya aktif menjadi guru di MIM Paciran yang bukan sekedar mengajar, karena beliaulah yang menentukan struktur kurikulum, pembagian tugas mengajar sekaligus membuat jadwal mengajar sebagai hafidzah beliau juga meluangkan waktu untuk menyimak setoran hafalan beberapa warga Paciran yang mempunyai semangat untuk menghafal al-Quran. Beliau juga aktif di organisasi Aisyiyah dan konsen dalam mengembangkan pendidikan anak usia dini TK ABA Pondok Modern Muhammadiyah Paciran, baik tenaga, dana dan pikiran. Dan berdirinya SPS Seturen tidak bisa lepas dari peran moral dan material yang beliau dedikasikan untuk kemajuan lembaga pendidikan anak usia dini di lingkungan Pondok Modern Muhammadiyah Paciran. Bahkan sampai menjelang akhir hayatnya kepala dan Guru TK ABA Pondok Modern tetap datang meminta pertimbangan terkait dengan penambahan tenaga pengajar dan pembanguan fisik sarana penunjang pendidikan.


Allāumma ighfir lī wa liwālidayya wa li al-mu’minīna yawma yaqūmu al-hisāb.

Leave a Reply